Kampung-kampung adat di Belu dibangun di atas bukit, gunung, dan pola perkampungan arsitektur mencerminkan hubungan masyarakat terhadap alam, tatanan sosial, kosmologi masyarakat yang mendiaminya. Konsep ruang dalam tatanan perkampungan dalam rumah Belu merupakan bagian penting dari tradisi vertakuler masyarakat setempat. Secara arsitektur makro, pola ruang perkampung dengan menempatkan bangunan pemujaan yang disakralkan yang bersifat umum, berupa Bosok – Aitos - Foho. pada topografi yang paling tinggi, posisinya di arah timur (matahari terbit), dan arah gunung. Berorientasi ke arah matahari terbit, karana dipercaya sebagai arah suci dan matahari adalah sumber kehidupan di dunia ini. Beroreintasi ke gunung, karana gunung dipercaya tempat arwah leluhur sebagai kepercayaan tradisi megalitik. Pada topografi bentang lahan yang lebih rendah ditempatkan bangunan Ksadan, adalah pelataran terbuka yang bentuknya melingkar dari susunan batu-batu papan. Fungsinya sebagai tempat pelaksanaan ritual dan musyawarah adat. Pada topografi bentang lahan yang lebih rendah dari Ksadan adalah bangunan-bangunan rumah adat/tempat tinggal, dengan Bosok – Foho - Aitos di depan rumah. Setruktur permukiman kampung-kampung adat di Belu adalah mengelompok atau klaster dengan pusat kegiatan berada di Ksadan. Kampung adat mempunyai tatanan yang integral dengan bangunan-bangunan tradisi megalitik.
Secara arsitektur mikro (rumah adat) di kampung adat Belu dapat dibagi dalam tipologi bentuk dan fungsi. Dari segi tipologi bentuk, rumah adat adalah berupa rumah panngung dengan kontruksi tiang kayu yang berupa tiang agung, tiang penyangga, dan atap berbentuk perahu terbalik. Di Kampung Adat Nualin Tas, dan Kampung Adat Duarato, pada bubungan atapnya terdapat maten (ijuk yang dijepit dengan bambu diikat datar), dan matenkes (bambo yang disusun silang berdiri menghadap keatas). Bubungan atap yang ada maten dan matenkes ini untuk rumah raja dan vetor, simbol kebangsawanan. Sedangkan untuk rumah penjaga, rumah panglima pada bubungan atapnya hanya memakai maten saja, sebagai simbol penjaga. Pada Rumah Adat di Matabesi bagian bubungan atap terdapat 3 kerucut disebut kakaduk, lambang Lulik Tulu Saung. Artinya hukum cinta kasih antar sesama manusia yaitu: sikap saling menghargai, saling menghormati, dan saling mencintai. Kakaduk pada bagian bubungan atap rumah adat Fatubesi yang dilengkapi dengan tiga bambu bersilang simbul tolu malara. Sebagai simbol hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan manusia. Di Kampung Adat Nualain Tas terdapat rumah-rumah berdasarkan status sosial, yaitu rumah raja (Nae), rumah pembentu raja (Vetor), rumah panglima (Kaluk), rumah rakyat biasa (Renu). Di Kampung Adat Duarato, terdapat rumah Purbelis untuk raja, rumah Mot Oe Leu untuk vetor/wakil raja, rumah Malikatal Lianain untuk Rato/juru bicara, aumah Lowe A Bao Rato untuk juru bicara wilayah, rumah Lowe A Bao Rato Kaluk untuk pencurah magis, rumah Lowe A Bao Rato Lakoq untuk pemegang senjata, rumah Lowe A Bao Rato Guloq untuk penyuguh sirih pinang.
Dari tipologi fungsi rumah adat, dapat dilihat dari pola ruang yang dibagi menjadi dua yaitu vertikal dan horisontal. Secara vertikal dibagi tiga yaitu: kolong rumah (dunia arwah),. ruang tengah (dunia manusia) ruang atas (dunia leluhur). Secara horisontal dibagi atas tiga ruangan yaitu: ruang depan terbuka untuk umum, Ruang tengah sebagai inti rumah, bersifat profan dan sakral. Profan digunakan tempat musyawarah adat dalam suku rumah , dan sebagai aktifitas sehari-hari. Sakralnya tempat melakukan aktivitas ritual, seperti memohon keselamatan supaya hasil pertanian melimpah, memohon doa-doa leluhur apa yang menjadi keinginan dapat terwujud. Ritual ini dipusatkan pada tiang agung, yang dipercaya sebagai perwujudan leluhur laki-laki dan perempuan, dan masih dipercaya dapat memberi kekuatan sakti apa yang menjadi keinginan dapat tercapai. Ruangan belakang untuk aktivitas perempun memasak dan pekerjaan rumah tangga lainnya, sebagai tempat tidur perempuan. Antara ruang tengah dan ruang belakang dibatasi oleh balok lantai kayu dasar yang berfungsi sebagai pembagi kamar. Kampung Adat Matabesi, memiliki pantangan tersendiri yaitu wanita yang dinikahi tetapi belum lunas belisnya tidak boleh masuk ke dalam ruangan tengah, dan hanya diperbolehkan masuk dan tinggal di ruangan belakang (dapur). Mengingat fungsi rumah adat tersebut, maka dalam pendirinnya yaitu mulai dari awal sampai selesai pendirian rumah selalu diikuti dengan upacara sirih pinang, potong ayam, babi, karbau, untuk memberikan agungan pada rumah adat.
Rumah Adat di Belu pada umumnya pada tiang-tiang dan dinding penuh dengan hiasan pahat yang mempunyai nilai simbolis. Tiang agung simbol leluhur laki-laki dan perempuan, ada di tengah-tengah simbol kesetaraan, kekuasaan, pemimpin harus berada di tengah-tengah dan memberikan pengayoman atau perlindungan. Hiasan pahatan pada dinding, seperti timbangan simbol keadilan yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin. Ayam simbol kejantanan, Cecak. Sebagai simbol peramal situasi kehidupan manusia. Suara cecak dari depan rencana yang dilakukan hendaknya dibatalkan. Akan tetapi bunyi cecak dari belakang diyakini bahwa leluhur mereka merestui untuk dilanjutkan. Buah susu perempuan sebagai simbol kehidupan, pesan moral yang disampaikan lewat ukiran itu adalah orang tua khususnya ibu wajib hukumnya untuk senantiasa dihormati dan dihargai, tanpa ibu tidak ada kehidupan manusia dimuka bumi ini.
(Sumber: Balai Arkeologi Kemdikbud)
0 Comments