Oleh: Agustinus Snawi Poety Peuuma
Genaplah sudah penantian sembilan purnama, dan sepuluh daun malam yang menyiksa rahim seorang perempuan muda malam itu. Setelah berjuang menyobek malam dengan kesakitan, perempuan itu segera mengambil setumpuk rupiah, sementara buah rahimnya ditinggalkan begitu saja dalam kehausan, lalu pergi entah kemana. Bahkan ia pergi tanpa meninggalkan nama bagi anak itu. Dia tak tahu lagi bahwa ia telah menjadi seorang ibu, sekalipun ia memaras wajahnya secantik gadis belia. Ia menganggap peristiwa malam itu sebagai pembalasan dendam atas kesendiriannya menanggung akibat dari hasrat purba seorang lelaki. Dan yang terpenting adalah ia tak tahu lelaki mana yang menitipkan seorang hawa di dalam perutnya yang kini berada di atas pembaringan amis. Di luar kamar, Tikus-tikus berkeliaran mencari remah-remah makanan, dan sesekali mengendus cairan pekat seorang lelaki di bawah cahaya lampu temaram. Karena pintu yang sedikit terbuka, tak lama berselang tikus-tikus itu mengerumuni setumpuk daging hangat yang sepertinya jatuh dari atas perut sang bayi.
Dari kejauhan seorang lelaki mendengar jeritan perih seorang bayi. Ia segera berlari meninggalkan pos jaga tempat lokalisasi dan lekas menuju asal suara tersebut. saat sudah ditemukannya, ia menyepak kawanan tikus hingga tercerai seluruhnya. Ia segera merengkuh bayi hawa yang terbaring di atas tempat tidur dengan penuh tanya. Lelaki itu pun tak tahu siapa ibu dari bayi ini, sebab begitu banyak perempuan yang keluar masuk kamar itu dengan menggandeng lelaki hidung belang.
Wajah lelaki itu lebam dan memar, akibat dipukul sekelompok orang karena dituduh mencuri, meski sudah dijelaskan olehnya tetap saja ia dipukuli. Ia hanyalah seorang pemulung yang ingin mengais rupiah lewat barang-barang bekas yang menurut banyak orang itu adalah sampah. Bagi dia itu adalah berkat. Inilah realitas yang sedang terjadi, bahwasanya yang terpuruk terkadang dilihat juga sebagai yang jahat. Kini, wajahnya yang penuh memar itu sedang memandang wajah polos nan murni. Ia mengecup dan ditimang-timanglah bayi itu, dan ia bisa merasakan degup jantung lelaki yang telah memberikan kasih sayang untuknya. Ia segera membawa bayi itu kepada Elisa, seorang PSK yang kemarin baru saja melahirkan untuk memberikan ASI bagi anak itu.
****
Keesokan harinya halaman depan pada salah satu surat kabar, menampilkan sosok perempuan yang mati di rel kereta api. Entah karena tertabrak ataukah ia sendiri yang ingin mengakhiri hidupnya masih belum begitu jelas. Namun bila dirunut kembali, hukum alam sepertinya telah berbicara. Bayi itu sepertinya meminta pertanggungjawaban terhadap alam, mengapa ia ditinggalkan, dan bisa saja ia mempertanyakan kenapa ia harus lahir di tengah dunia yang kejam ini. Seekor induk binatang pun tak mungkin meninggalkan anak-anak yang yang telah ia lahirkan. Adakah sesuatu yang lebih rendah dari seekor binatang? Ada, yakni perilaku perempuan itu. Alam telah bertindak sesuai hukum yang berlaku, bahwa segala sesuatu yang terjadi di kolong langit ada hukum sebab-akibatnya. Akibat dari perilaku perempuan itu adalah kematian. Jika ia hidup pun, ia tentu akan menderita.
****
Gloria, begitulah sapaan Lukman terhadap anaknya itu. Gloria bertumbuh dalam cinta seorang lelaki pemulung sekaligus penjaga tempat lokalisasi. Meskipun demikian, Lukman tak ada sedetik pun membiarkan anaknya itu terkungkung dalam kebutaan ilmu pengetahuan dan kesenjangan moral. Gloria mengenyam pendidikan Sekolah Dasar di salah satu sekolah favorit di tempat mereka. Hanya saja profesi Lukman justru menjadi bahan olokan teman-teman Gloria di kelas. Sekolah favorit terkadang identik dengan kumpulan anak-anak orang kaya. Anak-anak yang kaya akan mengadakan arisan untuk mengetahui siapa anak orang yang tak mampu di kelas mereka. Sasaran empuknya adalah Gloria, seorang gadis yang senantiasa memanfaatkan telinganya hanya untuk menangkap ilmu pengetahuan, daripada harus menangkap ocehan ataupun ejekan dari teman-temannya. Namun terkadang, ia harus menyeka butiran air matanya di toilet sekolah. Bukan karena ia mendengar ocehan dari teman-temannya, melainkan hatinya terlanjur matang untuk mengolah ocehan itu. Sekali lagi, ia teringat sosok lelaki yang mengais rupiah dengan bermanja bersama panas, lalu mencecap air hujan bersama tumpukan sampah dan akhirnya pulang dengan membawa senyum untuknya. Teringat akan hal itu, Ia merasakan degup jantung lelaki yang menghampiri dadanya untuk sekedar mengatakan, “Nak, kamu harus kuat seperti ayah”. Sejurus kemudian, ia menyeka butiran bening di matanya dan segera melangkah keluar dengan kekuatan baru.
Saat hendak memasuki kelas, kakinya terlanjur menginjak sepatu Nova yang adalah anak seorang pejabat. Pemandangan di atas permukaan lantai itu sudah bisa menjelaskan mana sepatu usung dan mana sepatu yang bisa dibandrol dengan harga jutaan rupiah. Nova sepertinya telah merancang semuanya itu, agar Gloria bisa dipermalukan di hadapan banyak teman.
“Kamu tidak punya mata, ya?” Marah nova sambil menginjak balik sepatu Gloria.
“Maaf aku tidak sengaja menginjak sepatumu. Lagi pula, kamu muncul dengan tiba-tiba.”
“Ehhh, kamu itu kalau udah salah jangan mengelak lagi,” sambar anak pejabat itu. Sejurus kemudian ia tertawa kecil saat melihat kondisi sepatu yang dipakai oleh Gloria. Ia bahkan mengajak kawan sekelasnya untuk melihat sepatu Gloria. Gelak tawa dan tatapan hina dilontarkan ke gadis itu. “Gloria, untung saja parasmu elok yang setidaknya bisa memberikan wajah bagi sepatumu itu.” Kata seorang anak dari arah belakang.
****
Kemiskinan ternyata selalu memberikan wajah penghinaan bagi yang mengalaminya. Mengadu pada nasib pun tak ada gunanya, sebab garis tangan sudah mengatakan demikian. Banyak orang percaya bahwa keberuntungan dan keberhasilan merupakan buah dari perjuangan. Sehingga keringat yang semakin kecut masai pun orang tak akan peduli demi suatu perubahan nasib hidup. Namun di sisi lain, lebih banyak orang yang sudah berpasrah terhadap nasib, menunggu agar kematian datang lebih awal, sehingga terbebas dari dunia yang tak adil. Rinai hujan perlahan jatuh, dan menyapa mesra bening air mata seorang gadis payung yang berdiri di depan gerbang sekolah. Dedaunan terlepas dari rantai kering dan berterbangan bebas untuk merayakan saat-saat kematiannya. Beberapa lembaran daun melintas di depan wajah yang seakan ingin bersembunyi dari dunia. Sesekali ia menunduk untuk sekedar menyampaikan senyum pada sepatu yang digunakan olehnya. Helaian rambutnya yang terurai indah sepertinya ingin membungkus wajah kesedihan itu. Kekecewaan di hari ini terkadang meluluhlantahkan harapan dan bahkan semangatnya untuk melanjutkan hari. Laju motor dan mobil lewat begitu saja dan mengirimkan angin untuknya, sesekali ia mengibas rambutnya sehingga elok wajahnya sungguh nyata di siang itu. Hampir setengah jam ia menunggu kedatangan sang ayah. Ia gelisah dan menengok kesana-kemari untuk memastikan kedatangan ayahnya. Sebenarnya bukan karena lamanya waktu ia menunggu, tetapi karena kegelisahannya terhadap sang Ayah. Ia takut akan terjadi sesuatu hal terhadap ayahnya. Air matanya semakin mengalir dan mencengkram erat kerah bajunya. Tiba-tiba dari kejauhan ia melihat sesosok bertubuh tinggi dengan sebuah payung hitam yang dipegangnya. Senyumnya semringah dan segera berlari lalu memeluk sang ayah.
“Kamu menunggu lama yaa, maafkan ayah nak,” sambut Lukman dengan membelai rambut anaknya. Gloria hanya memberikan anggukan kepala untuk menjawab permohonan maaf ayahnya.
“Ayah capek, kan? Ayah udah makan? Ayah jangan sakit yaaa.” Wajah kecilnya yang memerah karena tangisan diarahkan ke wajah sang ayah. Lukman terhenyak dengan pertanyaan dan tatapan anaknya itu. Air matanya berlinang dan memeluk anak semata wayangnya itu. Gloria memeluk erat ayahnya, dan sekali lagi ia merasakan degup jantung ayah yang merasuki hidupnya.
“Ayo kita pulang nak, Ayah sudah menyiapkan makanan untukmu,” ajak lukman sambil menggenggam jemari anaknya. Namun ketika melangkah, sol sepatu terlepas dari sepatu Gloria, sehingga membuatnya sulit untuk melangkah. Gloria hanya bisa melihat sepatunya, dan kemudian menatap wajah ayahnya. Lukman tersenyum dan segera membuka sepatu anaknya, lalu menggendong Gloria. Anak itu tak ingin menceritakan apa yang dialaminya saat di sekolah tadi. Sementara, Lukman melambungkan doa sederhananya kepada Tuhan, “Ya Tuhan, engkau tahu apa yang baru saja terjadi. Jika engkau mencintai anak ini, bantulah aku untuk bisa memasangkan sepatu baruuntuknya.”
*****
“Ayah adalah seorang lelaki yang menitipkan air matanya pada kelopak mata ibuku” Kata mutiara ini tidak dialami oleh Gloria, gadis yang bertumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu. Telah berulang kali ia mengusap air mata ayahnya yang terkadang tak dimengerti oleh Gloria. Lukman berusaha tegar, namun ia sendiri takluk oleh wajah lugu nan suci di hadapannya. Ketika hendak berbaring bersama malam, sambil mengusap wajah sang ayah, Gloria menghantarkan suatu kalimat, “Ayah, di sekolah kok banyak ibu yang menghantar anak-anaknya ke sekolah, bahkan terkadang aku memikirkan, kenapa selalu ayah yang menghantarkan aku ke sekolah? Di manakah ibu Gloria? Apakah ayah perlu berdandan seperti seorang perempuan, agar teman-temanku juga tahu bahwa aku juga memiliki seorang ibu? Hahaha.” Tawa yang diberikan oleh Gloria membuat Lukman tersenyum, namun di sisi lain ia pun belum berani untuk menceritakan kisah yang sebenarnya kepada anak itu. Lolongan anjing yang panjang dan desas-desus kupu-kupu malam, membuat Gloria takut dan segera memeluk erat sang Ayah. Degup jantung Lukman begitu hangat dan damai dalam hatinya.
“Ayah, apa yang berdetak di dalam dada ayah?”
“Nak, itu adalah jantung ayah, dan jantung itu adalah kamu.”
“Kok aku yah? Tanya Gloria dengan raut wajahnya yang hampir tertidur.
“Karena bagi ayah, Kamu adalah malam yang merintih manakala seorang perempuan lupa membersihkan darah pada tubuhmu, dan lupa menitipkan nama pada gendang telinga ayah. Namun kini, kamu adalah nafas yang menghembuskan kehidupan, serta darah yang mengairi semangat ayah. Kamu adalah sebongkah jantung Tuhan yang dititipkan ke dalam dada ayah. Dengarkanlah degup jantung ayah, rasakanlah itu agar kamu tahu langkah apa yang akan kamu ambil. Dan kamu harus tahu bahwa kamu adalah hari terakhir ayah.” Lukman menuturkan secara lembut sehingga membuat Gloria terbaring nyenyak, telinganya tetap mendengar degup jantung yang membuat dirinya semakin mempercayakan hidup ini pada sang ayah.
Tepat pukul tiga dinihari saat bumi belum seutuhnya telanjang, Lukman tersadar dari tidurnya. Ia teringat akan sepatu Gloria yang rusak. Ia lekas bangun dan segera menjahit bagian sepatu yang rusak. Sambil menatap wajah anaknya yang masih tertidur lelap, ia membangkitkan semangatnya untuk bisa mencarikan sepatu baru untuk Gloria.
*****
Perumahan Graha Mulia menampakkan deretan rumah-rumah elit disusul oleh deretan mobil-mobil mewah yang semakin menunjukkan kekayaan orang-orang yang tinggal di tempat itu. Kesibukan di pagi itu sudah mulai terlihat. Seorang perempuan dengan pakaian sederhana sedang menyirami taman. Seorang sopir sedang membersihkan mobil, dan sesekali ia berkaca melihat ketampanannya di pagi itu. Mungkin juga terbesit dalam benaknya, andaikan ia yang menjadi pemilik mobil tersebut, sopir pribadinya akan membukakan pintu mobil untuknya. Tiba-tiba jepritan air menyambar wajahnya. Sontak ia pun memarahi perempuan usil tersebut.
“Ahh... kamu tidak ada kerjaan ya. Pagi-pagi sudah cari masalah.” Gertak sopir tua seraya membanting kakinya.
“Hahaha... Dari kemarin kerjaan kamu itu menghayal. Sudahlah, jangan begitu terus. Awas kesurupan loh.” Balas perempuan itu.
“Halahh kesurupan kepalamu. Nanti kalau aku punya mobil, jangan coba-coba menyuruh aku untuk menghantarkan kamu pulang ke kampungmu yang jauh dan terpencil itu. Kamu itu cocoknya naik kuda, dasar!”
“Hahaha... semoga saja yaaa. Ehh itu ada trek sampah, kamu beli mobil itu saja.” Tutur pembantu itu seraya melihat mobil pengangkut sampah yang masuk di perumahan itu.
Trek sampah memasuki perumahan Graha Mulia. Para pengangkut sampah mulai mengambil tong-tong sampah, lalu ditumpahkan ke dalam bak trek. Lukman dengan cekatan mulai memilah sampah-sampah yang nantinya bisa dijual kembali. Ia sudah bersahabat dengan bau sampah serta ulat-ulat yang keluar dari sampah tersebut. Inilah sejatinya kerja kotor demi suatu pengahasilan yang halal, bukan seperti yang dilakukan oleh beberapa pejabat, bersih penampilannya tapi bekerja secara kotor untuk meraup uang rakyat.
Pasangan suami istri keluar dari salah satu rumah mewah di perumahan itu. Sang istri sambil menutup hidungnya, ia memberikan barang-barang bekas yang tidak di pakai lagi kepada Lukman. Dengan senyum semringah ia pun menerima barang-barang itu. Ketika ia memilah barang-barang tersebut, ia tercengang karena mendapati sebuah sepatu berwarna merah yang terlihat masih bagus, dan ukurannya terlihat cocok jika digunakan oleh anaknya. Namun, Lukman tidak langsung mengambilnya begitu saja.
“Bu, ini sepatunya masih sangat baik dan bagus. Apakah tidak terlalu terburu-buru untuk membuangnya?”
“Sudah tidak muat lagi di kaki anak saya, pak. Bawa saja. Lagian anak saya minta dibelikan sepatu baru lagi.”
“Ohh begitu ya bu.Terima kasih bu.”
Wajah semringah terpancar dari wajah Lukman. Dibungkusnya secara rapi sepatu tersebut dan disimpan dalam tas. Di sisi lain, ia merasakan sesuatu yang berbeda manakala melihat wanita tersebut merapikan dasi suaminya, sementara anak gadis mereka terlihat begitu bergembira melihat kedua orangtuanya. Trek sampah segera meninggalkan perumahan tersebut, dan Lukman dari atas trek itu terus melihat pemandangan harmonis yang ditampilkan keluarga itu.
Sejujurnya Lukman belum memiliki uang untuk membeli sepatu baru bagi Gloria. Sambil menyeruput segelas kopi dan menyatap pisang goreng di warung ibu Mira, ia merasa bingung bagaimana caranya untuk memberitahukan kepada Gloria tentang sepatu itu.
“Pak Lukman, kok terlihat bingung begitu, ada apa?”
“Ehh bu Mira, tidak kok bu. Kopi buatan ibu enak, makanya aku sampai kebingungan. Hahaha.”
“Ahh Lukman, jangan bohong begitu. bagaimana kabar Gloria? Bagus ya kamu berani menyekolahkan dia di sekolah favorit itu.”
“Yahh mau bagaimana lagi bu. Tanggung jawab aku untuk masa depannya. Aku tidak mau masa depanku tergambar untuk masa depannya nanti.”
Butiran bening menghiasi sudut mata ibu Mira kala mendengar perkataan Lukman. Ibu Mira turut menjadi saksi hidup Gloria. Payudaranya pernah menjadi penenang ketika Gloria merintih kehausan. Gloria terpaksa dititipkan ke ibu Mira saat Lukman harus bekerja untuk kehidupan dirinya dan Gloria. Tak terasa kini ia dapat melihat anak itu melangkah bebas. Betapa senang dirinya ketika anak itu datang untuk meminta pisang goreng buatannya. Maklum, Lukman tak punya keahlian untuk hal semacam itu. Tak perlu dibayar pun tak perlu menghutang. Di usianya yang makin senja, ia telah menjadikan Gloria sebagai cucunya sendiri. Dari kejauhan Gloria melihat ayahnya di warung ibu Mira. Ia segera berlari mendapati ayahnya.
“Bapak kok makan pisang gorengnya tidak mengajak aku?” Gerutu Gloria di hadapan ayahnya.
“Hahaha bapak takut kamu yang habiskan semuanya,” sambung Lukman seraya memeluk Gloria.
“Bapak kamu itu memang begitu. Sukanya makan sendiri. Hahaha. Kemari nak, ibu sudah buatkan pisang goreng spesial buat kamu,” ajak ibu Mira sambil merangkul anak itu ke dalam warung. Tak berselang lama, Gloria membawa keluar sepiring pisang goreng dan ditunjukkan kepada ayahnya.
“Wahh itu kebanyakan nak. Memangnya kamu bisa habiskan?” Merasa pesimis dengan perkataan ayahnya, ia pun segera mengambil sepotong pisang goreng lalu menyuapkan pada ayahnya.
“Hahaha kamu menyerah juga yaa,” tutur Lukman sambil merangkul Gloria dengan mesra.
Lanskap terakota membentang indah dan menyeruak masuk mewarnai seluruh warung itu. Hujan yang baru saja usai lupa membawa selendang warna-warni di ujung langit. Manusia hanya mampu memandang serta mengagumi rajutan helai-helai keindahan itu. Gloria begitu terkesima dengan pemandangan itu. Dengan perlahan ia mengambil bayangan pelangi itu, lalu mengirimkannya ke dada sang Ayah. Sekali lagi, ia merasakan degup jantung sang ayah yang membuatnya merasa indah dan tentram. Lukman segera menggendong anaknya dan pamit dengan ibu Mira.
“Bu berapa semuanya?”
“Ahh biarlah Lukman. Anggap saja kita lagi makan-makan di warungku.“
“Janganlah bu.”
“Sudah sudah, bawa ini sekalian yaa, “ ucap ibu Mira sambil memberikan dua bungkus nasi untuk mereka berdua.
“Makasih ya buu,” seru Lukman. Tak lupa Gloria segera memberikan salam dan melambaikan tangan untuk perempuan berpunggung adam itu.
*****
“Ayah, sepatu aku sepertinya tidak bisa digunakan lagi untuk sekolah besok,” keluh Gloria dengan suaranya yang memelas.
“Anak ayah gak boleh sedih yaa. Ini ayah sudah belikan sepatu baru untukmu,” tutur Lukman seraya mengeluarkan sepatu tersebut dari dalam tasnya.
“Wahh sepatunya bagus sekali ayah,” wajah ceria tergambar pada wajah Gloria. Dilihatnya secara kagum sepatu tersebut lalu dipakaikan pada kakinya.
“Ayah, sepatunya pas di kakiku.”
“Iya nak. Bagus kan.”
Gloria mengangguk senang dengan sepatu barunya itu. Sementara Lukman dalam lubuk hatinya menyimpan rasa bersalah yang teramat dalam terhadap anaknya itu. Namun bagi Gloria itu adalah bentuk kasih sayang seorang ayah untuknya, bahkan tak pernah terbesit hal buruk tentang ayahnya.
Malam semakin larut. Cahaya lampu yang temaram dikerumuni oleh serangga-serangga kecil yang beterbangan tak tahu arah. Gloria pun telah tertidur pulas dalam dekapan sang ayah. Garis-garis keriput semakin menghiasi wajah Lukman. Tangan-tangannya yang kekar, serta kulitnya yang melepuh akibat sengatan matahari tergambar jelas di malam itu. Lukman selalu menganggap hari esok sebagai hari terakhir untuknya, sehingga ia selalu berupaya memberikan kebaikan serta selalu berjuang untuk anaknya, Gloria. Jika hari esok bukan menjadi hari terakhir, ia bersyukur dan tetap menjadikan hari esok sebagai hari terakhir untuknya.
*****
Nur mentari menyeruak masuk dari terminal timur. Anak-anak sekolah melangkah gembira menuju sekolah mereka. Begitu pun dengan Gloria yang dengan riang melompat sambil menggenggam erat tangan sang ayah terlebih lagi karena hari itu ia mengenakan sepatu barunya. Lukman tersenyum melihat keceriaan anaknya itu, dan melangkah pasti menuju gerbang sekolah. Gloria segera mencium sang ayah dan bergegas ke dalam sekolah. Di sekitar halaman sekolah terdapat ibu-ibu yang juga turut menghantar anak-anak mereka. Biasanya mereka akan berada di sekolah itu sampai jam sekolah usai. Melihat hal tersebut, Gloria terus melangkah dengan riangnya dan masuk ke kelas. Gloria dapat mengikuti pelajaran dengan gembira dan nyaman.
Kembali lagi tentang ibu-ibu itu, mereka bisa digolongkan sebagai para ibu muda. Sebab, jika diperhatikan wajah mereka masih sangat kencang layaknya anak-anak kuliah. Lekuk tubuh mereka ramping dan sangat atletis. Terlepas dari itu, bukan sekedar menjaga anak-anak mereka di sekolah, tetapi di tempat itu menjadi ajang untuk menyambung suara secara hebat. Pribadi seseorang yang tak berada di tempat itu, mampu ditelanjangkan, dicemoohkan dan dihina secara berlebihan. Mereka mampu berspekulasi dengan retorika kebohongan, lantas kebaikan orang disembunyikan di bawah lidah mereka. Setelah itu dilanjutkan dengan menceritakan kekayaan dan kemewahan masing-masing. Tentang pengertian seorang istri terhadap kesibukan suami yang bekerja lembur, namun ternyata mata sang istri terlanjur ditutupi oleh kekayaan sehingga kecupan mawar pada kemeja suami tidak terbelacak oleh kelopak mata mereka. Kemudian beralih kepada anak-anak mereka, tentang keanggunan, ketampanan, serta kecerdasan anak mereka. Perihal kecerdasan, anak-anak mereka dituntut sedemikian rupa untuk bisa mendapatkan prestasi agar harga diri mereka dapat terangkat saat bercengkrama kembali dengan ibu-ibu yang lain. Sementara anak mereka terkungkung dalam tekanan yang belum saatnya mereka alami.
*****
Langit berkelebat awan-awan hitam, angin basah bertiup sedikit kencang dan menabrak tubuh-tubuh yang telah merasakan datangnya hujan. Sementara burung-burung bertengger dan mengibaskan bulu yang telah terlebih dahulu mendapat hujan di cakrawala. Bel sekolah berdentang tanda jam sekolah telah usai, di kelas Gloria, teman-temannya sedang ramai untuk melihat sepatu baru yang dipakainya.
“Gloria, akhirnya kamu punya sepatu baru juga yaa,” sahut Mega dengan sinisnya.
“Memangnya ayahmu punya uang untuk membeli sepatu itu atau jangan-jangan...”
“Jangan-jangan apa?” Sambar Gloria sambil menahan air matanya yang telah menggenangi matanya.
“Ayahmu mencuri,” tutur Mega dengan perlahan.
“Tidak mungkin ayahku melakukan hal itu!” sahut Gloria seraya mendorong teman-temannya.
Nova yang baru saja kembali dari toilet, segera masuk dalam keramaian itu. Ia menanyakan apa yang terjadi, dan setelah diketahuinya, ia mulai melihat sepatu yang dikenakan oleh Gloria. Nova berusaha melihat secara saksama sepatu tersebut yang sepertinya tidak asing baginya. Tiba-tiba ia langsung menarik Gloria dan pergi menemui ibunya di luar.
“Ibu, ini sepatu aku, kan?” Pekik Nova seraya menunjuk pada sepatu yang dipakai oleh Gloria. Gadis kecil bersepatu merah itu hanya terdiam dengan isak tangis yang menghiasi wajahnya. Lubuk hatinya tiada henti memanggil ayahnya. Ibu Nova berusaha tenang agar tetap menjaga citra dirinya di hadapan ibu-ibu yang lain.
“Ayahku yang membelinya, dan tidak mungkin ia mencuri,” suara harunya.
“Apa kamu bilang? Ini sepatu anak saya yang saya berikan kepada seorang pemulung. Jangan-jangan ayah kamu itu yang pemulung sampah itu?” Mata bu Nova meruncing tajam menuju gadis bersepatu merah itu.
Dari kejauhan Lukman melihat anaknya yang sedang diinterogasi oleh Nova dan ibunya. Ia segera berlari dan membuang payung yang dibawah olehnya.
“Tolong jangan sakiti anak saya,” tutur Lukman seraya memeluk erat Gloria.
“Kamu tidak apa-apa nak?”Sambungnya.
“Ayaaaah, ini sepatu yang ayah beli, kan?”
Lukman tak mampu menjawab pertanyaan dari gadis kecil itu. Ia sendiri berusaha untuk menenangkan Gloria dengan belaian tangannya.
“Mana mungkin ayahmu itu bisa membeli sepatu yang harganya jutaan rupiah itu. dasar pemulung!” sambar Ibu Nova dengan sombongnya, sekedar untuk memamerkan nilai dari sepatu itu. Sementara Nova dengan segera mencabut sepatu dari kaki Gloria, kemudian mengebaskan tangannya seakan merasa jijik telah memegang kaki dari gadis kecil itu. Gloria hanya mampu merelakkan sepatu itu diambil kembali. Bagi dia, berada dalam pelukan sang Ayah memiliki nilai di atas segalanya. Lukman segera bangkit dan mencoba menuturkan kalimat sederhananya dengan perlahan.
“Ibu, saya tahu dan saya sadar bahwa saya hanyalah seorang pemulung yang mencoba untuk menemukan harta Tuhan di antara tumpukan sampah. Namun saya mencari harta Tuhan itu dengan kejujuran, ketekunan, dan kesabaran. Jika saya menemukan harta Tuhan itu dengan cara yang salah, saya jamin bukan harta Tuhan yang saya temukan, melainkan tangan iblis yang perlahan-lahan akan menarik saya ke dalam ketamakan. Dan satu lagi bahwa Anakku adalah harta Tuhan yang telah aku dapatkan. Sesuap nasi yang masuk ke dalam mulutnya serta sehelai benang yang menutupi tubuhnya, harus aku dapatkan dengan kejujuran, ketekunan, dan kesabaran. Sehingga jangan pernah berpikir jika segala sesuatu yang aku dapatkan adalah hasil dari keliaran tanganku.”
“Persetan dengan ucapanmu itu. Dasar pemulung! Pencuri! Penjahat!”
Gloria hanya terdiam menangis sambil melihat ayahnya yang memilih diam dan berusaha tegar dengan hinaan yang dilontarkan oleh bu Nova. Ia tak mampu lagi melihat ayahnya, dengan kaki telanjang ia segera berlari menerobos hujan menuju ke luar sekolah. Butiran hujan menyatu dengan derai air matanya. Hatinya sungguh tersayat, dan ingin dirinya menjamah air mata sang ayah, namun ia tak sanggup untuk menatap lingkaran mata ayahnya. Tiba-tiba dalam keheningan hatinya ia mendengar degup jantung sang ayah serta desahan suara yang menyapa lembut kalbunya, “Kemari nak. Peluk ayah”. Gloria menghentikan langkahnya dan berbalik menatap sang ayah yang sedang berlari mendapatinya. Namun Gloria berada di posisi yang salah, sebuah motor berkecepatan tinggi menabrak tubuh kecilnya sehingga ia terpental beberapa meter jauhnya.
Rinai hujan masih berjatuhan dan membasuh darah segar yang mengucur dari kepala Gloria. Nafasnya tersengal sementara jemarinya berusaha menjamah wajah sang Ayah. Lukman tak mampu lagi berkata-kata manakala tangannya menopang tubuh kecil yang terkulai lemah.
“Gloria,, ini ayah nak. Kamu harus kuat,” tangis Lukman seraya mencium kening anaknya. Derai air matanya tak kunjung berhenti melihat Gloria yang telah terbujur tak berdaya.
“Ayah,,, peluk aku, aku kedinginan,” pinta Gloria dengan lembutnya. Air matanya mengalir perlahan dari sudut matanya. Lukman dengan perlahan menyandarkan kepala anaknya ke permukaan dadanya. Wajah Gloria terlihat tenang dan tersenyum kala mendengar degup jantung sang Ayah yang mengetuk gendang telinganya. Gloria menatap wajah kasar di depan bola matanya. Ia mengusap air mata ayahnya yang kian menetes, hingga akhirnya ia menutup mata dan menyudahi nafasnya yang tersengal.
Lukman tak tahu lagi dengan cara apa untuk membuat kelopak mata anaknya bisa melihat dirinya lagi. Ia berusaha mendengar nafas anaknya, dan mendekatkan daun telinganya pada dada kecil anaknya itu. Jantung lelaki itu mulai berdegup kencang dan nafasnya tersengal. Ia teringat akan apa yang pernah dikatakannya bahwa Gloria adalah jantungnya sendiri. Apa yang terjadi jika jantungnya kini telah terbujur kaku di pangkuannya? Di sisi lain, sesosok gadis kecil sedang memeluk tubuh lelaki itu. Dengan air mata yang bercucuran, ia berusaha menenangkan ayahnya. Namun lelaki itu tidak mendengarnya, dan terus memeluk tubuh yang terbujur tak berdaya. Tiba-tiba gadis kecil itu tak mendengar lagi suara tangisan dari lelaki tersebut. Ia merangkai kembali segala kenangan yang telah ia lewati bersama lelaki hebat yang pernah ia miliki.
“Siapakah ayah sehingga aku harus merindukanmu setiap saat. Aku ingin bersamamu lagi. Aku ingin bersandar dipangkuanmu ayah. Lihat Gloria ayah, lihattt!” Gloria mencoba untuk meyakinkan ayahnya kalau ia sedang memeluk erat tubuh yang sekian lama telah membuatnya bahagia. Namun tubuh itu tak memperdulikannya.
“Ayah! Aku takut sendiri,yah!” tangis Gloria semakin mengiris hatinya seakan tak ada yang memperdulikannya lagi. Hujan kenangan bersama sang ayah terlintas ramai dalam benaknya seakan ingin hadir kembali kepada kehidupan itu. Ia rapuh dan tak berdaya lagi, Namun dalam kesedihannya suatu bisikan lembut menyapa dirinya.
“Gloria, kamu tidak akan sendiri ayah di sini bersamamu” Gloria membalikkan tubuhnya dan tertegun kala melihat wajah sederhana yang sedang tersenyum padanya. Dengan perlahan ia memegang wajah itu dan memeluk erat tubuh lelaki itu dengan kuatnya.
“Kamu adalah jiwa yang memanggil ayah untuk segera datang memelukmu. Ayah akan datang, nak. Di manapun kamu berada ayah akan senantiasa bersamamu, sebab degup jantung ayah adalah kamu.”
Garis polisi melintang di sekitar lokasi kecelakaan, sementara beberapa petugas membawa dua tandu jenazah dan dimasukkan ke dalam ambulans. Sementara dua insan itu melangkah terbang menuju gerbang nirwana.
Degup jantung ayah adalah irama yang tak mengenali tubuh
Yang lebih mengenali sosok manusia
Dari hasil anggur yang ia sulangkan pada perjamuan di altar malam.
(Harimu ayah, 13 November 2019)
0 Comments