Ticker

6/recent/ticker-posts

Diary Di Langit Jerman

 

Sungguh menggelitik ketika jemarimu mengukur samudera yang menggaris di ujung sana. Padahal kita tahu bahwa masih ada hamparan samudera lagi  jika kita berada pada garis laut itu. Setidaknya sampai kamu tahu bahwa akan ada suatu waktu di mana kamu akan berada di seberang samudera ini, dan aku menemuimu lewat sayap-sayap patah seekor burung camar. Secara berani tanganmu mengait jemariku untuk membantumu mengukur garis laut nun jauh di sana. Perlahan kau menuntun jariku, hingga akhirnya tatapanku jatuh pada binaran matamu. Wajahmu adalah sebuah refleksi yang selalu kutuliskan pada lembaran malam. Maafkan kelancanganku yang sering mencuri malammu untuk kusembunyikan dalam kantong kenanganku. Ini adalah langkah sederhanaku agar bisa menjadi kolektor kenangan untukmu. Bagiku  kenangan itu tak boleh tercecer kemana-mana, sama saja aku menelantarkanmu dalam ketiadaan. Suatu saat nanti ketika kamu berada di langit yang berbeda, kamu akan membawa separuh jiwaku. Kita akan bertemu di sana.

    Aku teringat ketika kado ulang tahun yang  kuberikan padamu,  ternyata harus direngkuh oleh deras air sungai. Kamu melemparnya dengan penuh kekesalan.  Kandas dalam waktu singkat awal perjuangan cintaku. Aku sadar saat itu cintaku masih berada dibalik pundak temanku. Sementara dirimu masih berada dalam bayang-bayang ketakutan tentang hal konyol semacam ini. Tepatlah bahwa cinta kita kala itu masih tak tahu kemana. Aku berada dalam ranah ini.

“Jangan kecewa begitu. Cukup aku yang mendapatkan tamparannya. Mungkin  dia ingin agar kamu yang harus memberikan kado itu. Anggap saja aku sebagai pelampiasan kekesalannya,” tutur Albert sembari mengelus pipinya, bekas tamparan Dewi.

“Maafkan aku Bert. Sebetulnya aku yang harus memberikan kado itu untuknya. Aku belum berani melakukannya Selain itu, aku juga yang harus mendapatkan tamparan itu. Balaslah tamparan itu kepadaku sekarang!!”

“Tak mungkinlah aku melakukan itu padamu.”

“Tampar saja, ayo tampar,” ucapku sambil mendorong badannya

“Tidak”

“Tampar sajaa”

Plaaaaakkk.......

Tamparannya telak mendarat pada pipiku. Ia pun tercengang, begitupun aku. Setelah itu kami hanya bisa tersenyum untuk menertawai kekonyolan siang itu. Albert merangkul pundakku, dan kami pun menghabiskan jam sekolah dengan bersenda gurau di bawah pohon mangga , di samping kelas. Albert adalah sosok sahabat yang ingin merasakan sakit sebelum aku yang merasakannya. Sederhananya, ia tak ingin aku merasa kecewa sendirian. Pernah sekali waktu ia sengaja menyembunyikan dasinya saat hendak upacara bendera hanya karena melihat aku yang juga tidak memakai dasi dipagi itu. Akhirnya hukuman  menjadi milik kami berdua. Salah satu usaha terbesarnya ialah  membantu aku untuk mendapatkan perhatian dari gadis berkulit langsat itu. Albert berulang kali menyelipkan surat cintaku, pada lembaran bukunya. Namun selalu saja diambil oleh Rini yang selalu mengamati pergerakan kami.

 Agar bisa menikmati senyumanmu , aku harus berada diantara keramaian  dan secara perlahan kurekam senyumanmu, untuk kuperindah lagi dalam mimpiku nanti malam. Bagiku wajahmu adalah setengah anugerah cinta yang telah kumiliki. Sebagiannya lagi masih merupakan tanya untuk kucari jawabannya. Namun sebenarnya jawaban itu ada dalam dirimu. Aku tak tahu kapan kamu melengkapi kekagumanku yang sebagian itu. Dewi, adakah sebagian bola matamu kau sisihkan untukku? Mungkin aku terlalu memperbudak perasaan ini untukmu.

Tepat setelah menerima hasil kelulusan SMP, Albert menemuiku dengan wajahnya yang semringah. Entah setan apa yang merasukinya hingga ia begitu riang disiang itu. Bergegas ia merangkul pundakku dan membawaku pada suatu tempat. Di sana aku tak menyangka akan dipertemukan dengan seorang gadis yang selama ini membuatku hampir mengatakan cukup untuk sebuah perjuangan. Kamu  menatapku dengan datar. Namun tak apa, asal kamu telah meyisihkan tatapanmu untukku, itu sudah cukup bagiku. Aku gugup dan tak mampu lagi melayangkan langkah selanjutnya.

“Ada yang ingin aku katakan,” sambarnya dengan suara yang agak meninggi.

“Katakan apa Dewi,” tuturku dengan terbatah-batah.

“Apa maksud dari semua surat ini?” ia menunjukan beberapa lembar surat yang selama ini diselipkan pada bukunya.

“Aku ingin tahu apa maksud dari semua surat ini.” kamu seakan menguasai situasi saat itu. Aku tak mampu berbalah denganmu. Perasaanku  menaklukkan sikap tegasku sebagai seorang lelaki. Di hadapanmu aku seakan lemah, dan perasaanku luluh seketika. 

“Dewi, apakah kamu belum belajar Bahasa Indonesia? Ahhh salah, maksudku kamu bisa membaca, kan? Ahhh salah bukan itu maksudku. Tentu ada maksud dibalik semua surat yang kuselipkan pada bukumu itu, dan jika kamu membaca surat-surat itu kamu pasti bisa menangkap maksudku. Hanya saja aku kalah untuk suatu keberanian,”

“Keberanian apa yang sebenarnya ingin kau tunjukkan?” kulihat wajahmu yang mulai terseyum. Ini merupakan suatu kemenangan untukku. Kepercayaan diriku mulai bangkit. Aku pun dengan yakin mempertegak posisi berdiriku.

“Aku hanya ingin menyampaikan pesan dari hatiku. Dia mencintaimu,” aku merasa sungguh lancang mengutarakan isi hatiku, tetapi inilah jalan terbaik. kamu hanya terdiam, dan menunduk.  

“Sampaikan pesan ini ke hatimu, dia juga mencintaimu.” kamu segera beranjak dengan seberkas senyum yang kau letakkan pada tatapanku. Sementara aku masih terperangah berusaha mencerna arti dari kata-kata itu.

“Entah mengapa aku selalu tersenyum saat membaca suratmu”  Sambungmu lagi dari kejauhan.

                                                                  ####

Kedewasaan yang  kurasakan saat ini  merupakan hasil dari keputusan-keputusanku atas berbagai pilihan hidup. Memilihmu menjadi seorang kekasih adalah suatu pilihan, tetapi bukanlah menjadi keputusan terakhir bagiku untuk perjalanan hidup yang panjang . Aku pernah berdoa agar kenangan kita saat mengidungkan lagu-lagu gereja,terulang lagi saat kita mengidungkannya bersama anak-anak yang memilki rupa menyerupai wajah kita. Aku pernah berdoa untuk bisa melihatmu bercerita di depan anak-anak kita tentang hal konyol yang aku lakukan sewaktu SMP dulu. Aku pernah berdoa agar aku bisa berada disampingmu saat ragamu tak lagi kuat. Hingga pada akhirnya, aku pun berdoa agar aku bisa bertemu denganmu lagi, untuk bisa berbagi kisah tentang segala sesuatu yang pernah terjadi di dunia. Itulah doa sederhanaku ketika masa SMA dulu.

   Pernakah kamu ingat dalam suatu perayaan ekaristi , ketika perikop injil dibacakan oleh lelaki berjubah. Sepintas aku berpikir bahwa aku pun akan mewujudkan tindakan imanku, untuk bisa berdamai dengan perikop hari ini. Perintah dari bacaan itu seakan hanya ingin menunjukkan tanggung jawab apa yang harus aku perbuat bagi sesamaku. Yaa, Aku akan memberikan makanan saat ada yang lapar.  Aku akan memberikan minum kepada mereka yang haus. Aku akan memberikan tempat bagi mereka yang terlantar, serta aku akan memberikan mereka pakaian bagi mereka yang telanjang. Begitupun dirimu yang dengan nafas perempuanmu menghantarkan doa melewati jendela-jendela gereja bagi sesama kita yang menderita. Ku rengkuh jemarimu,agar aku kuat dan tidak terlalu hanyut oleh perikop injil hari ini.

 Entah kekuatan apa yang muncul dari bacaan itu. Malam yang seharusnya diisi oleh bayangan dirimu tiba-tiba saja disergap oleh rintihan orang-orang yang memanggil namaku. Hatiku terkoyak dalam kegelisahan. Pernah dalam suatu mimpi, kamu menghantar aku  kepada sekelompok orang yang sedang mencari beras pada setumpuk pasir, dan  berusaha menemukan mata air dalam genangan lumpur. Melihat kesungguhanku saat membantu mereka, kamu tersenyum dan sejurus kemudian kamu pergi menuju langit yang berbeda. Aku mengejarmu, namun dirimu telah berlalu sementara orang-orang itu memanggil-manggil namaku. Semenjak itu, aku selalu berdoa agar Tuhan  memberikan yang terbaik dalam kehidupan kita. Aku selalu berdoa agar  kebahagiaan  terus berlangsung  walaupun kita tak bersama lagi. Aku selalu berdoa agar rindu yang kita rasakan jangan selalu menuntut kita untuk bertemu. Hingga akhirnya, aku selalu berdoa agar kehendak cinta kita jangan menandingi cinta Tuhan yang telah terlebih dahulu mencintai kita tanpa syarat. Jika Tuhan lebih menginginkan agar aku mencintainya dengan cara yang berbeda, apa yang harus kita perbuat? Haruskah kita secara bersama mengetuk pintu masjid, ataukah  menantikan tumpangan tangan seorang pendeta, atau menelungkupkan badan untuk kebijaksanaan seorang biksu? Hal itu  sekali-sekali  tak mungkin terjadi, sebab sejak aku terbentuk dari rahim ibuku, Tuhan sudah mengenal dan mencintai aku terlebih dahulu. Kini, Tuhan telah menjawab apa yang selalu aku doakan dibandingkan apa yang pernah aku doakan.

 Kamu tentu tahu darah yang jatuh dari tubuh telanjang ketika di Golgota. Yesus mencintai kita tanpa syarat, tak peduli sakit apa yang harus dirasakannya untuk membuktikan cintanya yang begitu besar kepada kita. Bahkan jika ada penderitaan yang lebih dahsyat dari penderitan salib tentu itulah yang akan dipilih Tuhan. Kamu juga tentu tahu tentang Maria. Ia adalah perempuan sederhana yang mewarnai air matanya dengan darah puteranya. Ia adalah diam. Dalam diamnya terdapat serangkak yang menguliti hatinya. Dalam sanubarinya yang tergoncang ia hanya berserah kepada Tuhan. Apakah Maria juga menjadi sosok kebanggaanmu?

Aku ingin seperti Yesus, dan hendaknya kamu seperti Maria. Di antara mereka ada sikap saling memberi dan  melepaskan, namun tidak untuk saling melupakan. Pemberian diri, keikhlasan dan kerelaan adalah cahaya yang harus kita kirim pada langit yang kelam. Ingatlah bahwa kita pernah menjadi satu cahaya yang pada akhirnya akan terpisah untuk membaginya pada yang lain.  Kamu adalah cahaya murni yang membantu aku untuk melihat dunia yang begitu luas. Kalau demikian perkenankan aku sekarang melihat dunia ini dengan cahayaku sendiri. Kamu tentu bahagia bila melihat cahayaku bersinar bagi dunia yang kelam.

                                                                #####

Bening air mataku jatuh pada halaman terakhir diary ini. Aku sudah menyelesaikan bagianku. Setengah bagian dari semua lembaran ini tidak kuselesaikan dengan tullisanku. Aku menyisahkan yang setengah ini untuknya. Aku melakukan ini agar kamu tahu bahwa sebagian hidupku pernah kulewati bersamamu. Diary ini setidaknya menjadi tanda bahwa kisah yang pernah aku lewati bersamamu merupakan satu rangkaian cerita. Diary ini bukanlah ceritaku, bukan juga ceritamu, tetapi diary ini adalah cerita kita yang pernah dinikmati oleh ruang dan waktu. Di sudut kamarku, terpajang wajah Kristus yang menatapku mesra. Aku ingin menyapanya pula dengan mesra.

“Tuhan, cintaku adalah daging mentah yang belum layak untuk Kau nikmati. Aku ingin mematangkan cintaku itu dengan  perapian pelayananku yang bernyala bagi sesamaku.  Untuk kekasih yang pernah menyempurnakan cintaku demi mencintaimu secara total, aku berdoa agar ia bisa mencintai pilihanku ini.  

Aku segera memasukkan diary itu ke dalam tasku, dan segera mengambil sepeda untuk menemuinya. Aku bisa membayangkan peristiwa apa yang akan terjadi ketika aku memberikan diary ini kepadanya. Namun, aku menepis segala pikiran ini. Hal itu hanya akan membuat rasa bimbang yang berlebihan. Jalanan yang sedikit ramai membuat aku sedikit sulit untuk tiba di tempatnya tepat waktu. Kota Jogja selalu ramai saat malam minggu. Jalanan dipenuhi oleh berbagai macam kendaraan. Aku yang hanya mengayuh sepeda ini,  mencoba memakai jalan sempit di sebelah kiri jalan. Bunyi klakson yang memekakkan telinga, membuat aku semakin cepat memacu laju sepedaku. Tak disangka, hujan datang dengan diam-diam dalam gelap. Segera kuberhentikan sepeda dan lekas memasangkan mantel pada tasku. Aku tak membawa jas hujan, karena tak pernah terduga olehku bahwa hujan akan turun. Segera kulanjutkan perjalanan yang tinggal beberapa meter saja.

     Ketika aku tiba di kontrakannya, ternyata gerbang sudah ditutup. Aku melemparkan pandanganku ke sekitar kontrakannya , siapa tahu ada yang melihat kedatanganku. Namun, tidak ada seorang pun yang kulihat. Ruangan di dalam kontrakan itu pun gelap, aku yakin dia sudah tidur. Tubuhku basah seluruhnya, belum lagi dingin  yang menusuk kulit membuat aku tak bisa bertahan lama. Namun aku mencoba bertahan sebentar  untuk memastikan bahwa aku akan bertemu dengannya malam ini. Dia memberitahuku bahwa besok ia akan ke Jerman untuk melanjutkan studinya, tetapi aku tak memberitahunya soal kedatanganku malam ini.  Wajah kesedihan yang titipkan sebelum ia pulang, membuat aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Ia seakan merasa kecewa dengan sikapku yang tak memberi respon soal kepergiannya itu. aku semakin merasa bersalah saat kulihat dari balik jendela ia menyeka air matanya sebelum menaiki motornya dan pergi. Oleh sebab itu, aku memutuskan untuk menemuinya malam ini.

 Setelah lama menunggu, Dewi tak kunjung kutemui.  Dengan langkah dan niat yang berat aku pun mengayuh sepeda untuk kembali. Aku merasa ada yang hilang di malam ini. Namun, bagaiamana pun juga aku harus kembali, dan tak boleh takluk oleh perasaan konyol ini. Aku akan membiarkan diary ini tertata bersama rentetan buku lainnya. Sudah kuputuskan untuk meninggalkan semua kenangan dan peristiwa yang terjadi hari ini. Air mataku lagi-lagi jatuh saat mengingat air mata yang jatuh dari wajah indah itu. Kekesalan dan kesedihan membuat aku memberhentikan sepedaku. Tiba-tiba sebuah pelukan melingkari tubuhku. Isak tangis itu begitu dekat dengan telingaku. Aku berusaha tegar dan kuat, sebab aku tahu seseorang yang saat ini bersama denganku.

“Aku yakin kamu pasti datang malam ini,”ucapnya dengan lembut.

“Aku tidak bermaksud menemuimu, aku baru saja dari temanku, kebetulan rumahnya dekat dengan kontrakanmu,” Aku berusaha agar wajahnya tak boleh tergambar dalam bola mataku. Betapa memilukan bila wajah kesedihannya menarik air mata yang tergenang dalam bola mataku.

“Terkadang ketika kamu mencari aku, aku sudah menemukanmu terlebih dahulu.” Tangisannya semakin membuatku takluk dalam kerapuhan. Namun aku tak boleh berlama-lama dengan situasi ini, segera kuambilkan diary dari dalam tasku  dan memberikan kepadanya.

“Langit dan musim yang berbeda tak akan mengubah kisah yang pernah kita lalui bersama. Jika kau berada di tepian sungai, lanjutkan apa yang menjadi kisah kita. Sungai menjadi pilihan untukmu. Jika kamu telah selesai menuliskannya, kamu bisa melemparkannya ke sungai itu. Sungai adalah awal perjuanganku unutk mendapatkanmu, tetapi sungai juga menjadi akhir untuk menghanyutkan semua kisah tentang kita. Sekarang, masuklah ke kamarmu, hujan makin deras nanti kamu sakit.”

Ia pun dengan segera berlari meninggalkanku, tanpa mengambil diary yang aku berikan.  Aku segera membungkus diary itu dengan mantel tasku, dan menaruhnya di bawah gerbang kontrakannya. Ada bayangan wajah yang tergambar di balik jendela basah. Wajah yang ingin menukar hujan dengan air matanya. Senyuman kesedihanku menjadi tanda pamit untukku di malam itu.   

                                                                       ##### 

5 tahun kemudian.......

Saat ini di Jerman musim semi. Masyarakat jerman menjadikan momen musim semi ini untuk menikmati keindahan bunga-bunga yang telah bermekaran tanpa malu. Pohon Zierkirsche adalah salah satu tanaman yang bunganya mirip dengan bunga sakura di Jepang. Warna bunga yang indah dari pohon ini seakan tak bisa membuat orang-orang untuk mengurungkan diri di dalam kamar. Setidaknya mereka akan keluar untuk sejenak bersahabat dengan keindahan alam ini. Selain itu, ada juga orang-orang yang memanfaatkan musim semi ini dengan berlari santai tanpa lagi menggunakan jaket tebal seperti halnya dimusim dingin. Musim semi seakan menjadi musim yang sungguh dinanti-nantikan oleh masyarakat Jerman.

Seorang perempuan berkulit langsat duduk berjuntai pada sebuah bangku di tepi sungai Reihn. Balutan mafela yang meliliti lehernya dan jaket tipis pada tubuhnya, menunjukkan ia sungguh akrab dengan musim semi kali ini. Sesekali ia menghela nafasnya dan melemparkan pandangan pada langit biru. Sebuah buku yang  berada dalam genggamannya dicengkramnya begitu erat. Kalau saja alam bisa memberikan cinta sesederhana ini setiap saat, ia tentu akan berada di sini sampai nafasnya berakhir. Ia membuka lembar demi lembar dari buku itu. banyak hal yang telah ia tulis untuk melanjutkan kisah-kisah kecil yang telah ia lewati. Hingga akhirnya pada lembaran terakhir, ia melanjutkan kisahnya.

Mencintaimu adalah hal yang pernah aku sesalkan dalam hidup ini.Namun satu hal yang sering kutanyakan pada diriku yaitu mengapa aku mencintaimu? Jujur, bila seorang wanita mencintaimu,  berarti ia ingin  memilikimu. Inilah kekalahan terbesarku, bahwa aku telah mencintaimu. Namun kali ini aku telah menemukan dalam diriku arti mencintai yang sesungguhnya. Mencintaimu berarti memiliki apa yang menjadi pilihan terakhirmu. Aku telah memilikinya sekarang, dengan begitu aku bisa menerima apa yang terbaik bagi kita berdua. Bahwa kamu ingin mencintaiku dengan cara yang berbeda adalah pilihan terbaikmu.

Sekarang, di tepi sungai ini aku mencoba untuk menjadi diriku sendiri, dan bukan seperti yang kau inginkan di malam itu. Bagimu sungai adalah awal dan akhir perjuanganmu. Memang  awal adalah milikmu, tapi tidak untuk bagian akhir. Akhir adalah milikku. Aku ingin merangkai bagian akhir ini dengan memberikan langit baru yang pernah kau doakan untukku. diary ini  menjadi kisah yang selalu kubacakan, saat buah rahimku hendak terlelap. Kisah ini tidak akan hanyut bersama deras air sungai, tetapi akan menjadi mimpi untuk anak-anakku.

Diary di Langit Jerman,2009

“Ibu,,,,” teriak bocah yang berlari mendapati ibunya, sementara lelakinya mengejarnya sambil tersenyum.  

                 

 

 

Post a Comment

0 Comments