Ticker

6/recent/ticker-posts

Kata Politik Bukan Sebuah Ide Fix

Sejak lama, banyak sekali orang yang berbicara tentang politik. Kata politik seakan-akan merupakan sebuah stimulus atau rangsangan yang menuntut sebuah pengakuan defenisi eksistensial. Stimulus ini “menipu” manusia untuk mendefenisikannya yang mengakibatkannya menjadi multitafsir. Dikatakan menipu dalam arti realitas kata politik seakan bertanya kepada kita siapakah aku (politik) dan membutuhkan jawaban sesegera mungkin. Pernakah kita bertanya apakah kata politik yang kita ciptakan dalam bentuk defenisi akan menghasilkan sebuah kekacauan? Pendefenisian ini tidak hanya didapat dari kalangan intelektual akan tetapi dari kaum masyarakat sederhana. Kata politik berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua suku kata yaitu: Polis dan Teta. Polis berarti kota atau negara sedangkan teta berarti urusan. Dari pengertian dua suku kata yang berbeda ini dapat dikatakan bahwa politik merupakan sebuah urusan, usaha, proses untuk menghantar sebuah negara menuju suatu tujuan yang ideal (Bonum Commune).

Sebuah pengertian sederhana yang jauh dari makna harafiah politik yang sesungguhnya pun dapat kita dengar dari kalangan masyarakat sederhana. Beberapa orang dari mereka mengatakan politik itu adalah “tipu-tipu”. Dari fenomena tersebut dapat dikatakan bahwa realitas atas kata politik memiliki dimensi hitam-putih, pro-kontra atau bisa diterjemahkan juga dengan adanya dimensi kualisi-oposisi terhadap kata politik. Kekuatan kata, pada khususnya kata “politik” telah membelah realitas menjadi dua bagian yaitu dimetaforakan sebagai “Hitam-Putih.” Metafora “hitam-putih” atas kata politik hendak mengungkapkan sebuah perbedaan kehendak untuk percaya terhadap politik sebagai suatu ide fix untuk menciptakan negara yang ideal yaitu bonum commune atau kebaikan bersama.

Ada yang percaya bahwa politik dapat membawa pada tujuan kebaikan bersama dan ada pula yang percaya bahwa politik tidak membawa masyarakat (negara) pada kebaikan bersama tetapi justru pada kebaikan kelompok sebagai pemain drama yang berjudul politik tetapi meminta bayaran sebagai haknya karena telah menghibur penonton yang adalah masyarakat (negara) tanpa adanya suguhan atau sumbangsih menarik secara kualitas. Akan tetapi baik orang yang percaya pada politik sebagai jalan atau jembatan menuju tanah kebaikan bersama atau orang yang tidak percaya terhadap politik, kedua-duanya mempunyai kesamaan yaitu memiliki kehendak untuk percaya. Kehendak untuk percaya pada politik dan kehendak untuk tidak percaya pada politik. Alasan orang mempunyai kehendak untuk percaya disebabkan oleh kebutuhan untuk mendapat kepastian dan kebenaran. Kepercayaan terhadap politik sebagai bukti bahwa masyarakat membutuhkan pegangan hidup untuk menyatukan keterserakan-keterserakan yang ada pada masyarakat. Oleh karena itu masyarakat membutuhkan sesuatu kekuatan yang berasal dari luar diri mereka untuk menyatukan keterserakan-keterserakan tersebut sehingga terwujudlah keharmonisan yang utuh, baik, benar dan indah.

Dimensi “hitam-putih” politik menunjukan bahwa kata politik gagal membuat dan menggiring sebagian orang untuk percaya pada politik. Sebagian dari mereka menjadi korban dari persekusi politik. Kata politik yang memiliki hakekat untuk menunjang kebaikan bersama kini telah memiliki predikat atau status kata kontadiktif. Orang-orang yang menjadi korban politik merasa memiliki musuh besar ketika berbicara tentang kata politik. Siapakah musuh mereka? Musuh mereka adalah orang yang mencintai politik. Realitas ini menimbulkan sebuah kecurigaan bagi beberapa pribadi. Mereka mengartikan politik sebagai sebuah topeng dan realitas sesungguhnya ada dibalik topeng ini. Topeng ini seperti sebuah tarian indah tapi kadang membosankan. Pihak yang pro dan konta terhadap politik pun kedua-duanya hanya merupakan sebuah topeng. Topeng cinta dan benci yang nampak pada permukaan sebagai pencinta dan pembenci politik. Lalu apa yang menjadi realitas yang sesungguhnya dibalik topeng pro politik dan kontra politik? Yang menjadi realitasnya adalah moralitas dan psikologi. Moralitas dan psikologi sebagai jiwa dalam pementasan kata politik menjadi realitas. Jiwa ini bersifat substansial sedangkan materi atau tubuh dari politikus bersifat aksidental.

Politikus yang baik mendadak merupakan penjajah jangka panjang. Kebaikan sesaat menipu umat demokrasi dengan jiwa moralitas dan psikologi basih. Mereka membangun demokrasi dengan memperkosa arti politik dengan birahi kebengisan. Adanya benalu politik seakan-akan membuat kata politik ketika dikumandangkan di atmosfir demokrasi menjadi sebuah kata kontroversial. Kepercayaan terhadap kata politik telah mati dan yang membunuhnya adalah moralitas dan psikologi para benalu politik yang memadahkan lagu kesejahteraan terhadap rakyat. Syair-syair yang mereka dendangkan membasahi langit-langit demokrasi dengan moralitas dan psikologi jomberan. Pertanyaannya, bagaimana kita hidup dalam sebuah demokrasi di era politik nihilis makna? Jawabannya adalah selidikilah moralitas dan psikologi para calon politikus sedalam-dalamnya untuk menyelamatkan kata “politik” yang hakekatnya adalah Bonum Commune.

 

 

Oleh : Piter Langging

(Alumni Filsafat Unwira)


 

Post a Comment

1 Comments

  1. Mantp sekali kk..
    Tulisan ini sungguh menarik dan sangat bermanfaat guna utk menyadarkan kepada mesyarakt bagaimana cara dan pemahamannya tentang politik yang sebenarnya..

    Salam dan hormat saya kepada penulis

    ReplyDelete