Diskursus tentang demokrasi merupakan sebuah rubrik yang paling urgen dibicarakan dalam kalangan masyarakat Indonesia akhir-akhir ini. Dalam berbagai kesempatan, baik dalam dialog-dialog harian, seminar-seminar, surat-surat kabar dan media elektronik, semuanya mengupas tuntas tentang realitas ini. Pasalnya, bergantinya era otoritarian ke orde reformasi yang terjadi beberapa waktu silam tidak saja menandai berakhirnya sentralisasi kekuasaan, tetapi juga mengubah sendi-sendi penyelenggaraan negara. Berbagai perubahan mendasar ini telah mengakibatkan perubahan dalam tatanan politik di negeri kita, baik secara prosedural maupun secara substansial. Di sisi lain, proses penyelenggaraan pemerintah telah semakin terbuka. Kebebasan untuk berekspresi dan mengeluarkan pendapat di muka umum dijamin dan diatur dalam perundang-undangan. Secara de facto, rakyat mempunyai hak dan kewajiban untuk ikut ambil bagian dan memberi andil dalam mengakomodasikan jalannya sebuah tampuk pemerintahan. Sepintas realitas ini mau menegaskan bahwa kehidupan perpolitikan di negeri kita telah memasuki suatu babak baru. Babak baru inilah yang oleh Benjamin Franklin pada akhir abad ke-18 menjulukinya sebagai “matahari terbit”.
Namun perjalanan demokrasi yang sejatinya menjanjikan teragregasinya dan terakomodasinya aspirasi dan kepentingan masyarakat seluas-luasnya pada level tertentu dipertanyakan sekaligus diragukan keabsahannya. Mengapa? Jawabannya sangat sederhana yakni proses berjalannya demokrasi belum terakomodasi secara baik dan benar. Demokrasi justru menjadi sebuah boomerang yang pelaksanaannya sangat kontradiktif. Sistem demokrasi yang dijalankan belum dan bahkan tidak menyentuh pada masyarakat kecil. Akibatnya, tidak heran bila banyak ketidakadilan yang justru dirasakan oleh masyarakat. Faktum kemandekan demokrasi ini semacam menjadi sebuah “kesakitan” berdemokrasi. Pembiaran realitas “kesakitan” demokrasi ini akhirnya menjadi semacam warisan yang terus terdengar gemanya hingga saat ini.
Demokrasi : Sebuah Paradoks Kedaulatan Rakyat
Rakyat seharusnya berdaulat. Rakyat seharusnya memerintah diri sendiri tanpa menyerahkan kekuasaannya kepada instansi lain manapun. Begitulah himbauan yang melekat di dalam ajaran klasik tentang demokrasi. Bahwasanya demokrasi merupakan suatu bentuk kekuasaan rakyat atau pemerintahan rakyat. Abraham Lincoln mendefenisikan demokrasi secara modern yakni “the goverment of the people, by the people and for the people” (pemerintahan atau kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat). Maka paradoks demokrasi menekankan bahwa kekuasan politik itu ada di dalam tangan masyarakat. Rakyat memiliki kekuasaan legitimasi dalam menentukan jalannya sebuah pemerintahan. Oleh karena itu, dapat kita pahami bahwa aktualisasi demokrasi dalam suatu pemerintahan tidak lain dan tidak bukan adalah kedaulatan rakyat. Karena itu pula demokrasi seharusnya menjadi spirit dari terbentuknya suatu negara yang menginginkan keadilan dan kemakmuran bagi rakyatnya.
Berhadapan dengan sistem demokrasi seperti ini, Jurgen Habermas berpendapat bahwa “In the proceduralist paradigm, the client of welfare bureaucracies are filled by enfranchised citizens who participate in political discourses in order to address violated interests and by articulating new need” (dalam paradigma proseduralis, ruang yang ditinggalkan oleh partisipan-partisipan dalam pasar ekonomi dan orang-orang yang terkait dengan birokrasi negara kesejahteraan diisi oleh warga negara yang kritis dan juga berpartisipasi dalam diskursus politik dalam rangkah untuk mengetengahkan kepentingan-kepentingan mereka yang terlanggar dan dengan mengartikulasikan kepentingan serta kebutuhan baru). Menurut Habermas, dalam konteksnya dengan masyarakat Indonesia yang pluralis, hal ini harus dilihat dalam bentuk ruang publik politis yang sehat, dalam arti bebas dan kritis. Artinya bahwa, kedaulatan rakyat dalam masyarakat pluralis, diidentikkan dengan kondisi-kondisi komunikasi yang membuka kesempatan bagi warga untuk membentuk opini dan kehendak bersama yang dirumuskan secara diskursif sehingga kemudian dapat mengartikulasikan kepentingan dan kebutuhan baru masyarakat.
Oleh karena itu, paradoks demokrasi menjadi sendi terpenting yang gencar diperjuangkan oleh sebagian besar masyarakat sebagai landasan dari tata sosial. Presentasi demokrasi barangkali ditawarkan sebagai tesis baru yang ingin mendasarkan diri pada prinsip-prinsip asasi berupa penghormatan atas nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian munculnya demokrasi merupakan resistensi sadar manusia atas proses dehumanisasi oleh sentralisasi kekuasaan. Demokrasi sejatinya menghendaki adanya distribusi kekuasaan sehingga kekuasaan berjalan di atas sendi-sendi kemanusiaan dan dijalankan oleh manusia yang berakal budi. Ini berarti bahwa dalam demokrasi hak setiap manusia menjadi fondasi utamanya.
Realitas “Kesakitan” Demokrasi
Aktualisasi demokrasi di negeri kita barangkali masih terus dipertanyakan. Realitas menunjukkan bahwa hingga saat ini sistem demokrasi yang “bermain” di dalam negeri kita belum sesuai dengan prospek yang seharusnya. Ada “kesakitan” demokrasi yang terus dipertontonkan dari masa ke masa. Demokrasi yang tidak adil terhadap rakyat telah berlangsung lama di dalam kehidupan bangsa kita. Katakan saja bahwa sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia adalah sistem demokrasi perwakilan. Dalam sistem demokrasi perwakilan, melalui proses pemilihan umum, rakyat yang memberi suara bagi wakil-wakil rakyat yang dianggapnya layak. Walaupun demikian, antara apa yang menjadi kehendak rakyat dengan hasil keputusan pemerintah masih terlalu jauh jaraknya. Berbagai keputusan pemerintah berkaitan dengan kepentingan publik, masih dibuat dengan cara konservatif. Artinya keputusan tersebut dibuat dalam suasana isolasi dari warga yang nota bene akan terkena efek hasil keputusan tersebut. Kontribusi seluruh elemen masyarakat dalam perumusan kebijakan yang bersifat publik masih sangat terbatas.
Dalam kaca mata Habermas, suasana ini adalah suatu distorsi komunikasi, yakni kanal-kanal komunikasi yang seharusnya berjalan lancar tersumbat oleh berbagai lobi-lobi, kompromi yang dipaksakan, antara kepentingan politik dan ekonomis. Sementara itu mereka menutup mata terhadap kebutuhan masyarakat kecil yang sesungguhnya. Para wakil rakyat yang pada dasarnya sebagai penentu prioritas pembangunan justru tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Akibatnya faktum kemiskinan, penderitaan, disintegrasi, dehumanisasi dan kemelaratan terus “bermain” dalam situasi hidup masyarakat kecil.
Kaum Intelektual : Agent of The Change
“Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kugoncangkan dunia”. Demikian sebuah kalimat reflektif dari presiden pertama RI, bapak Ir. Soekarno dalam merefleksikan tentang peran kaum intelektual (baca: mahasiswa) sebagai agen pembaharuan yang dapat memberi andil dalam kehidupan perpolitikan di Indonesia. Kurang lebih kalimat sang proklamator ini mau menegaskan bahwa peran kaum intelektual sebagai agen pembaharuan bukanlah suatu hal yang utopis. Sebab dalam sejarah peradaban dunia telah membuktikan bahwa perubahan mendasar sejumlah negara dimotori oleh kaum intelektual.
Menurut Coser (1965), kaum intelektual (baca: mahasiswa) merupakan kelompok orang atau pribadi yang berilmu yang tidak pernah merasa puas menerima kenyataan sebagaimana adanya. Mereka selalu berpikir soal alternatif terbaik dari segala hal yang oleh masyarakat sudah dianggap baik. Hal ini dipertegas oleh Shils (1972) yang memandang kaum intelektual sebagai pribadi-pribadi yang selalu mencari kebenaran yang batasannya tidak berujung. Berhadapan dengan realitas demokrasi yang kontradiktif, kaum intelektual sebagai agen pembaharuan diharapkan selalu berupaya untuk menemukan hal-hal baru yang bernilai transformatif bagi teragregasinya dan terakomodasinya sistem pemerintahan yang pro rakyat.
Paling tidak, ada dua hal penting yang mendasari kaum intelektual (baca: mahasiswa) sebagai Agent of the change, yang dapat memberi andil dalam perhelatan euforia demokrasi. Pertama, kaum intelektual sebagai Iron Stock, yang mana merupakan aset, cadangan serta harapan bangsa untuk masa depan. Sehingga kaum intelektual diharapkan mampu menjadi manusia-manusia tangguh yang memiliki akhlak yang mulia dan kemampuan yang bersinergis. Kaum intelektual sebagai insan akademis yang selalu berpikir ilmiah dalam mencari kebenaran haruslah mampu menjadi role model dalam menerapkan praktek demokrasi politik. Kedua, kaum intelektual sebagai Guardian of Value, artinya kaum intelektual berperan sebagai the keeper dari nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Nilai-nilai yang harus dijaga seyogyanya mengandung suatu kebenaran yang bersifat mutlak. Nilai itu bukanlah hasil dari pragmatisme politik, kerakusan hati yang kotor maupun siasat jahat melainkan bersumber dari suatu nilai kebenaran dan kemutlakan yang substansial. Dengan demikian, kaum intelektual senantiasa dituntut untuk mampu tanggap dalam menyikapi situasi kebangsaan, terutama atas situasi yang rawan potensi konflik, disintegrasi, dehumanisasi, kemelaratan, kemiskinan dan penderitaan yang merupakan realitas “kesakitan” demokrasi yang sedang melilit kehidupan masyarakat kecil.
0 Comments